Asal Mula Kota Sala – sejarah asal-usul sejarah kota sala berawal dari saat terjadinya peristiwa penting di Keraton Kartasura. Ketika itu yang menjadi raja di Kraton Kartasura adalah Sri Susuhunan Paku Buwana II. Sang raja yang saat itu masih muda belia membuat keputusan yang sering keliru dan kebijaksanaannya sering melukai perasaan para kerabat kraton. Puncak kekecewaan para kerabat kraton itu terjadi saat Sri Susuhunan Paku Buwana II tanpa sebab yang jelas telah menjatuhkan hukuman mati terhadap Pangeran Tepasana.
Akibat dari tindakannya ini, putra Pangeran Tepasana yang bernama Raden Mas Garendi memberontak dan menyatakan diri sebagai raja tandingan dengan gelar Sunan Kuning. Pemberontakan Raden Mas Garendi ini banyak mendapat dukungan dari para kerabat kraton, termasuk Adipati Martapura yang dulu sangat setia kepada pemerintahan Kraton Kartasura. Disamping ini, pemberontakan Raden Mas Garendi ini juga banyak dibantu oleh orang-orang Cina yang banyak tinggal didaerah Kartasura dan sekitarnya. Dengan keahliannya, Raden Mas Garendi berhasil membentuk pasukan yang kuat yang mayoritas prajuritnya adalah orang-orang Cina, dan kemudian berhasil merebut tahta dan menduduki Kraton Kartasura. Peristiwa ini dalam sejarah disebut “geger pecinan”.
Akibat peristiwa ini Sri Susuhunan Paku Buwana II bersama kerabat kraton yang masih setia kepadanya melarikan diri ke Ponorogo. Namun sang raja hanya 9 bulan saja terpaksa hidup di pengungsian, setelah menghimpun kembali kekuatannya dan mendapat bantuan dari pasukan kembali Belanda serta bala tentara Adipati Cajraningrat dari Madura, akhirnya Sri Susuhunan Paku Buwana II berhasil merebut kembali Kraton Kartasura dari tangan Sunan Kuning atau Raden Mas Garendi. Walau Sri Susuhunan Paku Buwana II berhasil merebut kembali dan menduduki kraton Kartasura lagi, namun hatinya sangat terpukul mengetahui keadaan kraton yang sudah banyak mengalami kerusakan. Kegelisahan itu masih ditambah dengan adanya saran dan petunjuk dari para sesepuh kraton. Bahwa untuk menghindari kerusakan kraton yang lebih parah lebih-lebih untuk menjaga kekuasaan Dinasti Mataram dimasa yang akan datang, maka kraton Kartasura sebagai pusat peerintahan negara harus dipindahkan. Hal ini harus secepatnya dilakukan karena sebuah keadaan kraton yang sudah dijamah oleh kaum pemberontak, sangat tidak baik apabila terus dipakai sebagai pusat pemerintahan.
Untuk memenuhi nasihat para sesepuh kraton tersebut, Sri Susuhunan Paku Buwana II segera mengundang Kiai Yosodipura, Kiai Tohjoyo, dan Pangeran Wijil. Pokok dari pembicaraan adalah mencari jelan keluar agar kehendak para sesepuh kraton segera terwujud. Atas petunjuk Kiai Tohjoyo, tempat kraton yang baru harus dicari tanah yang kelak dapat memberi kesejahteraan (Sukoharjo). Sedangkan Kiai Yosodipura menambahkan agar tanah yang dipilih nanti hendaknya berbau harum. Akhirnya Pangeran Wijil menyenggupkan diri daam usaha pencarian tanah untuk kepindahan kraton Kartasura tersebut secepatnya. Atas perintah Sri Susuhunan Paku Buwana II, Pangeran Wijil segera menyusun tim penyelidik yang akan mengemban tugas mencari tanah untuk pemindahan kraton Kartasura. Tim penyelidik dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok yang pertama dipimpin oleh Suranata Kiai Kalifah Buyut dan Mas Penghulu Pekik Ibrahim, sementara kelompok yang kedua dipimpin oleh Raden Tumenggung Hanggowongso dan Tumenggung Tirtawiguna. Setelah memperoleh bekal petunjuk seperlunya sesuai dengan yang digariskan Sri Susuhunan Paku Buwana II, tim penyelidik segera berangkat mengemban tugas masing-masing.
Makam Ki Gedhe Sala |
Dikisahkan kemudian utusan raja itu berangkat ke arah timur. Tidak berapa lama mereka menemukan tanah yang subur dan berbau harum, maka para utusan raja ini menamakan tempat ini Desa Talawangi (sekarang Kadipala). Tempat ini segera dibabad untuk dijadikan halaman kraton, tetapi setelah dilakukan pengukuran oleh Tumenggung Tirtawiguna, ternyata ukurannya kurang luas. Perjalanan kemudian dilanjutkan lagi ke arah timur dengan menyeberangi Bengawan hingga ke desa Bekonang. Namun para utusan raja ini kemudian balik lagi ke arah barat karena tanah di desa Bekonang tidak memenuhi syarat untuk dijadikan sebuah kraton. Mereka pun akhirnya sampai disebuah tempat yang berawa. Rawa itu dipenuhi Lumbu, yaitu semacam tumbuh-tumbuhan air, maka tempat ini kemudian disebut Kedunglumbu. Ditepi rawa inilah kemudian Tumenggung Tirtawiguna dan Pangeran Wijil berdoa memohon petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa. Karena begitu khusuknya berdoa, maka Tuhan pun memberi petunjuk kepada kedua utusan raja itu lewat sebuah suara gaib. “Hei... engkau yang sedang bertirakat, kalau engkau menginginkan tepat untuk dijadikan sebuah kraton, maka pergilah ke desa Sala, sebab sudah ditakdirkan tempat itu akan menjadi sebuah kota yang besar dan makmur”. Setelah mendengar suara gaib itu maka Tumenggung Tirtawiguna dan Pangeran Wijil pun segera menuju ketempat yang ditunjukan suara gaib itu. Betapa gembiranya kedua utusan raja begitu sampai di desa Sala dan bertemu dengan Ki Gedhe Sala karena ternyata Ki Gedhe juga mendengar suara gaib tentang akan datangnya dua utusan kraton yang mencari tempat bagi pembangunan kraton yang baru.
Ketika penemuan di desa Sala itu dilaporkan kepada Sri Susuhunan Paku Buwana II, maka segeralah dilaporkan oleh sang raja agar Kedunglumbu yang berawa itu ditimbuni pepohonan. Tugas itu diberikan kepada bupati-bupati daerah pantai, tetapi usahanya selalu gagal karena air dan rawa itu terus mengalir. Melihat keadaan itu, Pangeran Wijil, Kiai Kalifah Buyut, dan Penghulu Pekik Ibrahim segera memberikan segala macam sesaji yang disertai doa-doa, namun hasilnya sia-sia, air rawa itu tetap saja keluar dengan derasnya seperti air laut. Semua yang melihat peristiwa itu ketakutan dan lari. Pangeran Wijil dan Kiai Yosodipuro yang melihat peristiwa itu langsung segera melakukan “tapa brata” disebelah selatan rawa selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak makan tidak minum. Tepat pada malam hari yang ketujuh terdengar lagi sebuah suara gaib. “Hei engkau yang sedang mengemban titah raja, ketahuilah dasar rawa itu tidak mungkin bisa kering karena dasarnya tembus ke laut selatan. Bila engkau ingin menghentikannya, maka persayaratannya engkau harus menutupnya dengan Gong Sekar Delima dan kepala seorang penari bersama dengan daun lumbu”.
Sang Raja yang mendengar laporan dari kedua orang kepercayaannya itu segera menafsirkan ungkapan yang ada dalam suara gaib itu. Gong diartikan gangsa atau gamelan. Gangsa mengeluarkan bunyi, itu berarti gong adalah perlambangan orang yang menceritakan kisah itu, dan orang itu tidak lain adalah Ki Gedhe Sala sendiri pemilik daerah. Sedangkan kepala penari, dimaknakan sebagai wayang, yang dalam bahasa jawa adalah ringgit, sementara ringgit adalah mata uang. Berarti sejumlah mata uang, sekitar sepuluh ribu ringgit. Begituah sang raja Sri Susuhunan Paku Buwana II memerintahkan untuk memberikan untuk ganti rugi uang sejumlah sepuluh ribu ringgit kepada Ki Gedhe Sala untuk membeli desa Sala yang akan digunakan untuk lokasi sebagai pembangunan Kraton Surakarta. Setelah diberi ganti rugi, maka usaha penimbunan air Kedunglumbu berhasil dengan ditutup bunga merah delima dan daun lumbu. Sedangkan tanah yang digunakan untuk menimbun diambil dari Talawangi atau Kadipala. Kemudian Sri Susuhunan Paku Buwana II memneri nama tanah yang telah dibelinya itu dengan nama Surakarta Hadiningrat, peristiwa ini terjadi pada tahun 1670 Masehi.
Dapat kita ambil dari makna legenda Asal Mula Kota Sala ini memberikan teladan tentang bagaimana serius dan penuh tanggung jawabnya seorang bawahan bila diberi tugas oleh pimpinannya. Disamping itu juga memberi contoh bahwa dalam menjalankan tugas apapun sangat perlu memohon petunjuk Tuhan. Hal ini yang dapat diambil dari legenda ini adalah sebuah teladan dari seorang penguasa yang bagaimanapun berkuasanya tetap memberi ganti rugi ketika harus mengambil tanah milik rakyatnya.
0 Response to "Asal Mula Kota Sala"